BAUBAU - Bandar Udara Betoambari Baubau, Sulawesi Tenggara mengharapkan pengerjaan pengembangan bandar udara daerah itu terus berjalan tanpa dihalangi karena proses dan upaya memperoleh proyek strategis nasional tersebut tidak mudah.
Kepala Dinas Perumahan Pemukiman dan Pertanahan, Amalia Abibu menjelaskan jika Lahan yang diklaim warga adalah milik pemerintah yang dibuktikan dengan putusan pengadilan dan sertifikat.
"terakhir ini ada dua bidang tanah yang belum terbayarkan dan sudah dalam proses untuk pembayaran karena mereka punya alas gak berupa sertifikat, "ungkap Amalia
Sementara dari Pihak Warga diwakili La Daisi mengungkapkan sejak ada putusan Mahkamah Agung tahun 1994 yang memutuskan lahan yang dimiliki pihaknya adalah status a quo dimana para warga juga telah hidup dan besar dari hasil lahan kebun.
Baca juga:
'UKA-UKA' dan NJOP Lahan SMAN 7 Baubau
|
"kami besar dari hasil kebun ini, bagaimana kalau lahan kebun kami diambil secara paksa begini, sejak tahun 1994 atas putusan MA juga kami tetap terus berkebun dan kemudian dipakai pihak pemerintah tapi tidak pernah diganti rugikan, jadi anak cucu kami juga mau membangun nanti dimana kalau tidak diganti lahan ini, "ungkap La Daisi
Puluhan tahun sudah permasalahan lahan bandar udara Betoambari tak ada ujung pangkal penyelesaian. Langkah persuasif buntu, jalur hukum perdata inkrah dimenangkan pemerintah, yang telah mengantongi sertifikat hak pakai. Namun semua itu tak sedikitpun menyurutkan perjuangan 38 warga Lipu/Katobengke selaku ahli waris lahan, yang telah dikelola kakek-nenek orang tua mereka dengan berkebun/ bercocoktanam.
Kamis 6 Juni 2024, kantor bandara Betoambari dan pemerintah kota Baubau menggelar jumpa pers yang dihadiri Ketua DPRD Baubau H Zahari, Kabandara Betoambari, Anas Labakara, perwakilan 38 ahli waris La Daisi, unsur pemkot Baubau, Polres Baubau, Kodim 1413/Buton, dan BPN Baubau, serta insan pers.